Masalah Seksual Kebanyakan Perempuan
Masalah seksual selalu saja dikaitkan dengan stigma. Alhasil, banyak orang tidak memiliki pengetahuan yang tepat seputar masalah seksualitas, terutama yang didapat dari berdiskusi dengan profesional yang memahami kesehatan seksual. Tak mengherankan jika kemudian banyak masalah seksual dialami perempuan, terkesan sepele namun mengganggu, tetapi tidak menemukan solusi yang tepat dan menyeluruh.
Dokter yang memiliki perhatian khusus pada masalah kesehatan seksual, dr Nurlan Silitonga, MMed, mengatakan, banyak perempuan dewasa tidak mau berbicara soal keputihan. Banyak juga perempuan yang tak punya tempat bertanya untuk membicarakan masalah seksualnya.
"Meski informasi di internet terbuka bagi perempuan dalam memelajari masalah seksual, verifikasi dengan profesional juga dibutuhkan," kata dr Nurlan saat ditemui Kompas Female di klinik pelayanan kesehatan seksual Angsamerah, Blora, Menteng, Jakarta, Sabtu (15/1/2011).
Menurut dr Nurlan, masalah seksual yang paling banyak dialami perempuan, merujuk pada pelayanan di klinik Angsamerah, adalah keputihan dan pap smear.
Penyakit Keputihan
Soal keputihan, misalnya, tak sedikit perempuan sungkan bertanya dan berdiskusi tentang masalah di area kelamin wanita ini. Informasi yang tepat mengenai keputihan tidak banyak didapat oleh kaum perempuan. Keluarnya cairan berlebih dari alat kelamin wanita atau keputihan ini menjadi masalah yang dihadapi sehari-hari, tetapi tak diketahui solusi tepatnya. Penyebabnya, masalah seputar area reproduksi dianggap tabu untuk dibicarakan.
"Akhirnya, karena tidak bisa bicara masalah keputihan, tidak bisa menanyakan obat yang tepat," kata dr Nurlan.
Dampak lain, di antaranya, banyak perempuan tidak mendapat informasi dengan baik mengenai apakah masalah yang dialaminya normal atau abnormal. Keputihan, misalnya, menjadi abnormal jika berbau, gatal, dan si perempuan tersebut harus ganti celana beberapa kali dalam sehari. Apalagi jika kemudian masalah keputihan ini mengganggu kehidupan seks, yang berdampak pada masalah hubungan berpasangan.
"Papsmear"
Pemeriksaan pap smear perlu dilakukan rutin satu tahun sekali bagi seseorang yang aktif secara seksual Namun, pemeriksaan bisa diulangi setiap dua tahun jika menurut hasil konsultasi dengan dokter tak ada masalah serius yang didapat dari organ reproduksi perempuan, khususnya di leher rahim.
Sayang, banyak perempuan belum memahami kebutuhan ini. Salah satu penyebabnya, banyak perempuan merasakan stigma ketika harus memeriksakan diri untuk pap smear. Inilah yang kemudian menyebabkan banyak perempuan, meskipun aktif secara seksual, tidak merasa nyaman memeriksakan diri.
"Dokter harus mengerti mengenai layanan yang merefleksikan pelayanan kesehatan yang baik, seperti memperlakukan klien dengan respek dari caranya berkomunikasi. Jadi, bukan sekadar memberikan obat," tutur dr Nurlan, menjelaskan kebutuhan akan tenaga medis yang ramah untuk mengatasi masalah seksualitas.
Dampak yang muncul dari berbagai masalah seksualitas ini adalah perempuan cenderung menyalahkan dirinya sendiri. Perempuan kurang bersih merawat diri jika contoh masalahnya seputar keputihan. Apa pun alasan yang kemudian membuat perempuan berada dalam posisi salah. Ini juga merupakan dampak minimnya edukasi seks untuk orang dewasa. Masalah muncul karena keengganan masyarakat berdiskusi soal seks, dibarengi tenaga medis yang tak ramah pasien.
"Seksualitas perlu dibangun dalam perspektif yang lebih positif. Seks itu seksi dan baik, bukan sesuatu yang negatif yang tak bisa dibicarakan," ujar dr Nurlan.
Sumber: Kompas.com
Masalah seksual selalu saja dikaitkan dengan stigma. Alhasil, banyak orang tidak memiliki pengetahuan yang tepat seputar masalah seksualitas, terutama yang didapat dari berdiskusi dengan profesional yang memahami kesehatan seksual. Tak mengherankan jika kemudian banyak masalah seksual dialami perempuan, terkesan sepele namun mengganggu, tetapi tidak menemukan solusi yang tepat dan menyeluruh.
Dokter yang memiliki perhatian khusus pada masalah kesehatan seksual, dr Nurlan Silitonga, MMed, mengatakan, banyak perempuan dewasa tidak mau berbicara soal keputihan. Banyak juga perempuan yang tak punya tempat bertanya untuk membicarakan masalah seksualnya.
"Meski informasi di internet terbuka bagi perempuan dalam memelajari masalah seksual, verifikasi dengan profesional juga dibutuhkan," kata dr Nurlan saat ditemui Kompas Female di klinik pelayanan kesehatan seksual Angsamerah, Blora, Menteng, Jakarta, Sabtu (15/1/2011).
Menurut dr Nurlan, masalah seksual yang paling banyak dialami perempuan, merujuk pada pelayanan di klinik Angsamerah, adalah keputihan dan pap smear.
Penyakit Keputihan
Soal keputihan, misalnya, tak sedikit perempuan sungkan bertanya dan berdiskusi tentang masalah di area kelamin wanita ini. Informasi yang tepat mengenai keputihan tidak banyak didapat oleh kaum perempuan. Keluarnya cairan berlebih dari alat kelamin wanita atau keputihan ini menjadi masalah yang dihadapi sehari-hari, tetapi tak diketahui solusi tepatnya. Penyebabnya, masalah seputar area reproduksi dianggap tabu untuk dibicarakan.
"Akhirnya, karena tidak bisa bicara masalah keputihan, tidak bisa menanyakan obat yang tepat," kata dr Nurlan.
Dampak lain, di antaranya, banyak perempuan tidak mendapat informasi dengan baik mengenai apakah masalah yang dialaminya normal atau abnormal. Keputihan, misalnya, menjadi abnormal jika berbau, gatal, dan si perempuan tersebut harus ganti celana beberapa kali dalam sehari. Apalagi jika kemudian masalah keputihan ini mengganggu kehidupan seks, yang berdampak pada masalah hubungan berpasangan.
"Papsmear"
Pemeriksaan pap smear perlu dilakukan rutin satu tahun sekali bagi seseorang yang aktif secara seksual Namun, pemeriksaan bisa diulangi setiap dua tahun jika menurut hasil konsultasi dengan dokter tak ada masalah serius yang didapat dari organ reproduksi perempuan, khususnya di leher rahim.
Sayang, banyak perempuan belum memahami kebutuhan ini. Salah satu penyebabnya, banyak perempuan merasakan stigma ketika harus memeriksakan diri untuk pap smear. Inilah yang kemudian menyebabkan banyak perempuan, meskipun aktif secara seksual, tidak merasa nyaman memeriksakan diri.
"Dokter harus mengerti mengenai layanan yang merefleksikan pelayanan kesehatan yang baik, seperti memperlakukan klien dengan respek dari caranya berkomunikasi. Jadi, bukan sekadar memberikan obat," tutur dr Nurlan, menjelaskan kebutuhan akan tenaga medis yang ramah untuk mengatasi masalah seksualitas.
Dampak yang muncul dari berbagai masalah seksualitas ini adalah perempuan cenderung menyalahkan dirinya sendiri. Perempuan kurang bersih merawat diri jika contoh masalahnya seputar keputihan. Apa pun alasan yang kemudian membuat perempuan berada dalam posisi salah. Ini juga merupakan dampak minimnya edukasi seks untuk orang dewasa. Masalah muncul karena keengganan masyarakat berdiskusi soal seks, dibarengi tenaga medis yang tak ramah pasien.
"Seksualitas perlu dibangun dalam perspektif yang lebih positif. Seks itu seksi dan baik, bukan sesuatu yang negatif yang tak bisa dibicarakan," ujar dr Nurlan.
Sumber: Kompas.com